Ticker

6/recent/ticker-posts

Jenis Setan Menurut Sebagian Ulama

 Aswajabuleleng | Buleleng. Makhluk satu ini memang identik dengan sifat jahatnya menurut sejarah mulai di alam surga sampai sumpahnya kepada Allah untuk Manusia akan mencari teman sebanyak-banyaknya untuk kelak sebagainpenghuni neraka, oleh karena itu sebagian ulama mencoba untuk menjelaskan sosok sebagai bentuk kewaspadaan sehingga harapan akan menjadi muslim yang selamat didunia dan akhirat.

Iblis; bosnya setan. Punya sembilan anak:



1. Khanzab di divisi penggangguan shalat.

2. Walhan, bagian tukang waswas dalam bersuci.

3. Zallanbur, bertugas di pasar; membisiki para pelakunya untuk main-main dalam jualannya, sumpah bohong, memuji dagangan yang cacat, mengurangi ukuran dan timbangan.

4. A’war, sebagai pembisik dan penggejolak nafsu birahi pezina.

5. Wasnan, Si setan tidur. Ia membuat berat kelopak mata ketika akan melakukan shalat dan kebaikan lainnya. Namun, bersemangat membuka mata manusia jika akan melakukan hal-hal menjijikkan. Seperti zina dan lainnya. 

6. Tabrun, bertugas membuat orang yang terkena musibah menjerit histeris dan menampari pipinya sendiri.

7. Daasim; setan rumah tangga. Tugasnya: Membersamai makan orang, riwa-riwi di dalam rumah, tidur bareng, nonton waktu melepas pakaian, bahkan mengompori pasutri pemilik rumah agar bertengkar dan berujung perceraian. Ini, jika pemilik rumah tidak memasuki rumah dengan bismillah, atau melakukan segala aktifitas itu dengan bismillah, minimal dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

8. Mathuun/Musawwathun, adalah setan penebar berita bohong. Ketika hoax sudah tersebar, kadang tidak diketahui, siapa penyebarnya.

9. al-Abyadh; si putih adalah setan berkedudukan paling tinggi. Bagian penggoda para Nabi dan Wali. Para wali habis-habisan melawan mereka, ada yang selamat, pun pula tidak, seperti Barseso, Bal’am bin Bauro, dan lainnya.


Kalau ada yang bertanya masalah ghaib ini, misal: “Kok Iblis bisa beranak-pinak? Apakah dia punya istri, atau bagaiamana?”. Sebenarnya membuktikan ketaqwaan kita tidak perlu sejauh itu, yang penting kita percaya dengan alam ghaib, sudah cukup, seperti dalam permulaan surah al-Baqarah. Namun, demi sebuah ilmu, para ulama tempo dulu menjawabnya dengan berbagai ijtihad mereka:


Kata Imam Sya’bi: “Yang jelas, Iblis punya penganten perempuan, tapi jelasnya, aku tak melihatnya”. 

Sebagian ulama berkata: “Iblis punya istri berupa ular yang dulu bisa memasukkannya ke syurga --guna menggoda Nabi Adam As--.”

Ada yang mengatakan: “Iblis tidak punya istri. Tapi cara beranak pinaknya adalah dengan memasukkan kelaminnya ke duburnya, lalu ia bertelor. Dan dari telornya menetaslah jamaah setan”.

Kata Imam Qurthubi setelah menukil pendapat ulama sebelumnya: “Iblis itu, punya alat kelamin lelaki di paha kanannya. Dan alat kelamin wanita di paha kirinya. Jika ingin beranak pinak, tinggal memasukkan alat di paha kanan ke paha kiri! Setiap hari akan keluar sepuluh telor, dari satu telor, keluar 70 setan lelaki dan setan perempuan. Lalu, si Iblis menyebarkan anak-anaknya.”


Wallahu A’lam bis-Shawaab. Diringkas dari Furuuhatur-Rabbaniyyahnya Imam Ibnu ‘Alan 1/343 Syamilah atau hal. 1/201-202 cet. Darul-Kutub Ilmiyyah.


Dan semoga, hanya demi ilmu, bukan kepentingan lain, saya mengetik status ini. Amin.


Dan satu kisah lagi yang kemaren saya temukan dalam kitab Yaqut Nafis yang alhamdulillah baru datang. Sebelum ngetik versi saya. Iseng-iseng buka Mbah Gogel. E, ternyata sudah ada yang menerjemahkan dengan apik sekali. Maturnuwun jazaakumullah ahsanal jazaa buat Mas Ahmad Dirga, santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur:


Dalam rangka menumbuhkan sikap toleransi dan anti-fanatisme yang berlebihan, baik kiranya kita menyimak kisah inspiratif Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri. 


Suatu ketika, dua imam besar ini dipertemukan dalam perdebatan yang sangat sengit. Keduanya sama-sama mempertahankan pendapat masing-masing disertai argumentasi yang kuat. Mereka berselisih tentang kulit bangkai yang bisa suci dengan disamak.   


Menurut Imam asy-Syafi’i, kulit bangkai selamanya tidak dapat disucikan dengan cara disamak. Ia berdalil, dahulu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menulis surat kepada sahabat Juhainah yang isinya tentang larangan memanfaatkan kulit dan urat bangkai. 


Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tuhfah at-Thâlib bi Ma’rifati Mukhtashar Ibnu Hâjib (hal. 200), buah karya Imam Ibnu Katsir. Berikut redaksinya:


إنّي كنتُ رخّصتُ لكم في جلود الميتة فإذا جاءكم كتابي هذا فلا تنتفعوا من الميتة بإيهاب ولا عصب


Artinya, “Sungguh, aku memang telah beri dispensasi kepada kalian tentang kulit-kulit bangkai (yang suci dengan disamak). Maka, ketika suratku ini telah kalian terima, maka jangan sekali-kali memanfaatkan kulit dan urat bangkai lagi,” (HR Abu Daud dan Ahmad).   


Imam Sufyan ats-Tsauri justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, kulit bangkai bisa suci dengan cara disamak dengan dalil Hadits riwayat Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anh tentang bangkai seekor kambing sedekah yang diberikan kepada seorang mantan budak Maimunah. Saat itu, secara tidak sengaja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan para sahabatnya yang hendak membuang bangkai kambing tersebut.   


Nabi bersabda:


هلاّ أخذتم إهابها فدبغتموه فانتفعتم به؟ فقالوا: إنها ميتة. فقال: إنما حرم أكلها 


Artinya, “Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu menyamaknya sehingga bisa dimanfaatkan? Para sahabat menjawab, ‘Ini sudah jadi bangkai’. Lalu, nabi bersabda, ‘Bangkai itu hanya haram dimakan’,” (HR Muslim).   


Singkatnya, Imam asy-Syafi’i dan Sufyan ats-Tsauri tetap kokoh dengan pendapatnya masing-masing. Namun menariknya, setelah lama merenung kembali, Imam asy-Syafi’i malah menarik pendapatnya dan lebih memilih pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri. Demikian halnya Imam Sufyan, secara bersamaan juga menarik pendapatnya dan berpindah kepada pendapat asy-Syafi’i yang pertama.   


Oleh karena itu, sampai saat ini, dalam kitab-kitab fiqih mazhab Syafi’i pasti ada pembahasan seputar kebolehan menyamak kulit bangkai dan memanfaatkannya. Hukum ini berawal dari perdebatan sengitnya dengan Imam Sufyan. Kisah bersejarah ini disadur dari kitab Syarh al-Yâqût an-Nafîs fi Madzhab Ibni Idris (hal. 63) karya habib Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiriy.   


Adapun mutiara hikmah yang dapat kita teladani dari kisah inspiratif ini, bahwa dalam kaca mata para ulama terdahulu, tak sedikit pun noda fanatisme yang berlebihan dan intoleransi, apalagi hanya urusan berbeda pendapat. Tentu nyaris tak ditemukan. Jadi, dalam persoalan mencari kebenaran (ittibâ’ul haqq) para ulama as-salaf as-shâlih benar-benar membuka diri untuk menerima kebenaran, kapanpun dan dari manapun datangnya. 


Wallahu a’lam bis-shawaab.

Penulis : gus hisbullah pule nganjuk.

Post a Comment

0 Comments