Ticker

6/recent/ticker-posts

MENGENAL HAKIKAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Aswajabuleleng |  Ilmu hakikat seringkali dikesankan sebagai ilmu misterius yang tidak dapat dipahami atau dimengerti kecuali oleh orang-orang tertentu yang sedikit sekali. Kesan ini sebenarnya hanya framing biar ilmu hakikat terlihat keren dan elit. Padahal nggak juga, ini ilmu biasa sama seperti ilmu yang lain. Ia bisa dipelajari dan untuk mengklaimnya perlu diuji sebagaimana semua klaim ilmu yang lain. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan muslim sudah mengenal hakikat. Kali ini saya mau memberi bocoran ilmu hakikat yang sebenarnya kita kenal sehari-hari.

 
Gus Abdul Wahab Ahmad 

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hakikat itu sisi yang tidak tampak dari syariat sedangkan syariat adalah sisi yang terlihat dari penerapan hakikat. Jadi keduanya adalah sisi berbeda dari satu tindakan yang sama. Nabi Muhammad sudah menjelaskan kedua sisi ini dengan sangat baik. Begini contoh kongkritnya:


1. Aspek yang terlihat dari wudhu adalah membersihkan muka, tangan, sebagian kepala dan kaki. Biar gak kotor dalam beribadah. Ini aspek syariat yang semua orang lihat. Tapi secara hakikat wudhu adalah ibadah untuk membersihkan dosa-dosa kecil yang ada dalam anggota badan. Sebab itu dalam hadis disebutkan bahwa ketika berwudhu dosa seseorang berguguran. Siapa yang yang berwudhu hanya niat bersih-bersih badan, maka dia belum sampai ke aspek hakikat sehingga sisi ibadah dan perbaikan diri dari kotoran batin tidak dia dapat.


2. Shalat secara zahir hanyalah gerakan tubuh yang mirip senam atau meditasi. Ini aspek syariat yang kasar mata. Namun sisi hakikatnya, shalat adalah ibadah yang melambangkan komunikasi intens antara seorang hamba dengan Allah. Dia tidak hanya sedang gerak-gerak yang tak jelas maksudnya, tapi dia sedang menghadap Allah berulangkali dalam sehari sehingga dia selalu mengingat Allah dalam kesehariannya. Orang yang shalatnya hanya gerak-gerak dan mulut komat kamit saja artinya shalatnya belum sampai ke hakikat sehingga fungsi shalat sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar tidak dia dapat.


3. Sedekah secara zahir adalah mengeluarkan sebagian uang yang kita punya untuk diberikan ke orang lain sehingga saldo kita berkurang. Ini aspek yang kasat mata. Namun secara hakikat sedekah adalah kegiatan untuk mencari ridha Allah melalui harta kita sehingga apabila ridha ini didapat maka Allah akan membalas dengan kelancaran rizki yang lebih banyak. Dengan kata lain, sedekah secara hakikat adalah menambah harta bukan malah mengurangi harta. Orang yang enggan bersedekah dengan alasan agar hartanya tidak berkurang artinya masih belum sampai ke sisi hakikat dan itu tercela. 


4. Ketika seorang pegawai yang telah bekerja sebulan penuh mendapatkan gaji, maka secara zahir dia telah melaksanakan kewajibannya mencari nafkah hidup dan diberi uang oleh atasannya sebagai imbalan jasa. Ini aspek syariatnya. Dari sisi hakikat sebenarnya pegawai tersebut sedang mendapat rizki dari Allah. Yang memberi rizki bukan juragannya tapi Allah yang mengatur dia sehingga mendapat job itu dan mendapat gaji dari sana sehingga orang itu perlu bersyukur kepada Allah. Kalau pun kerjanya bermasalah, jangan lupa berdoa pada Allah juga sesuai tuntunan ilmu hakikat ini. Bila seseorang merasa gajinya murni pemberian manusia dan murni hasil usahanya sehingga tidak mau berdoa dan bersyukur pada Allah, maka artinya dia belum sampai ke hakikat sehingga dia tercela.


5. Ketika seseorang mati tertabrak mobil, maka secara zahir dia mati karena badannya dirusak oleh mobil yang dikendarai seseorang. Sebab itu pengendara itu harus disidang. Ini aspek syariat yang bisa dilihat semua orang. Di sisi hakikat, orang tersebut mati karena batas usia yang diberikan Allah memang sudah habis sehingga melalui malaikat maut Allah mencabut nyawanya. Yang hanya tahu sisi zahirnya saja akan larut pada kemarahan dan balas dendam, tapi yang tahu sisi hakikatnya akan bisa sabar dan tawakal.


Saya kira lima contoh di atas cukup untuk menggambarkan sisi hakikat dan syariat dari suatu perbuatan atau kejadian. Kasus lain dapat dikiaskan sendiri. Kedua sisi itu harus dipahami seorang muslim sehingga pengetahuannya komprehensif. Kalau hanya sisi syariat saja yang dilihat tentu hampa dan kering. Tapi kalau hanya hakikat saja tak ada unsur syariatnya maka jelas konyol sekali dan hanya omong kosong. Dalam konteks inilah celaan para ulama pada orang yang hanya memilih salah satunya harus dipahami. 


Kedua sisi syariat dan hakikat yang saya contohkan di atas mudah dicari dalilnya dari al-Qur’an dan hadis. Tak ada aspek agama yang tidak dijelaskan oleh keduanya sebab sumber syariat dan sumber hakikat adalah sama-sama al-Qur'an dan hadis. Sebab itu, para ulama mu'tabar sepakat menyatakan bahwa mustahil syariat dan hakikat berlawanan. Hanya orang Zindiq dan Bathiniyah yang mengesankan bahwa keduanya berbeda dan saling menafikan seolah-olah kalau bersyariat artinya belum berhakikat atau kalau berhakikat artinya sudah tidak perlu bersyariat. Pemahaman mereka sesat dan bodoh banget. 


Loh kok sederhana kalau cuma begitu? Ya memang kajian hakikat itu sederhana. Bahkan kejadian antara Nabi Khidir dan Nabi Musa pun yang seringkali dianggap contoh pertentangan antara syariat dan hakikat sejatinya juga sederhana tidak seperti yang diruwet-ruwetkan banyak penulis tasawuf. Nabi Khidir sebenarnya juga menjalankan syariat yang didapatkannya dari Allah, tetapi pertimbangannya tidak dia kemukakan sewaktu bertindak. Pertimbangan yang tersembunyi inilah yang disebut banyak orang sebagai sisi hakikat, tapi ia tidak aneh atau pun melanggar hukum syariat, masalahnya cuma gak dikasih tahu saja sehingga ada kesalahpahaman. Ambil contoh waktu Khidir merusak perahu. Secara zahir memang sepintas kelihatan salah, tapi setelah dijelaskan bahwa itu untuk melindungi pemilik perahu agar perahunya tidak dirampas maka tindakan itu benar secara syariat berdasarkan pertimbangan menolak potensi dlarar yang lebih besar.


Kasus Khidir yang merusak perahu ini sama seperti ketika seorang suami tetiba menggagalkan janjinya untuk merayakan ulang tahun anaknya. Tentu secara zahir tindakan itu salah sehingga istrinya marah-marah. Haram loh melanggar janji. Belum lagi anaknya jadi malu karena undangan sudah tersebar. Tapi kemudian si suami bilang bahwa hakikatnya dia membatalkan acara itu karena ibunya sedang sakit mendadak sehingga butuh uang untuk berobat. Nah, clear akhirnya "syariat" versi istri bisa paham "hakikat" versi suami dan saling memaklumi. Intinya sih cuma pertimbangan yang tidak dikasih tahu di awal sehingga terkesan salah, padahal hakikatnya nggak salah. Sederhana banget kan. 


Tapi ada beberapa kepelikan dalam kasus Khidir secara lengkap yang mungkin membuat beberapa pembaca bertanya-tanya. Kapan-kapan saja insyaAllah saya tulis secara lengkap di status khusus biar jelas. 


Semoga bermanfaat.

Penulis : Gus Abdul wahab ahmad di ambil dari fanspage Fb. 

Post a Comment

0 Comments